Cikal Mahendra adalah nama yang sampai sekarang masih selalu kuingat-ingat. Cikal Mahendra adalah temanku semasa SD. Cikal, seorang anak laki-laki yang ganteng dan pintar [gantengnya kaya Yossie Project Pop pas muda dulu]. Pertama kali aku masuk SD, awalnya aku duduk di sebelah anak yang kelak menjadi sahabatku, Lu’lu’. Tapi pada akhirnya wali kelasku, Bu Surti memindahkan kami berdua. Aku akhirnya pindah di samping Cikal, dan Lu’lu’ aku nggak tahu jadi samping siapa. Kesan pertama yang aku lihat darinya adalah dia ganteng [kayaknya aku suka banget liat anak ganteng], tapi wajahnya judes. Awalnya aku berharap, siapa tau ini bakal jadi temanku. Sampai akhirnya pemilihan ketua kelas. Aku lupa siapa saja wakilnya, yang jelas waktu itu aku pilih Zeni, anak cewek yang kebetulan unik, rambutnya panjang dan dikucir sana sini. Tapi justru yang menjadi ketua kelas si Cikal.
Aku lupa siapa yang mulai, yang jelas justru ketika aku duduk disamping Cikal, kita berdua suka sekali cubit-cubitan, tending-tendangan juga. Akhirnya aku sering nangis sesampainya di rumah. Ibuku yang tahu seperti itu, menyuruhku untuk membalasnya [ibu macam apa ini, hahahaha]. Hal lucu lagi, dulu waktu kelas 1 SD, aku sering banget ngompol di kelas. Bahkan hampir setiap hari. Kalau ku piker-pikir, seperti apa perasaan Cikal waktu itu, pasti dia ilfil banget sama aku, hahaha. Akan tetapi kegiatan ngompol mengompolku tidak mempengaruhi pergulatan kami. Tiap pelajaran, selalu kami habiskan dengan perkelahian. Akhirnya ibuku nggak kuat juga. Beliau lalu pergi ke sekolah, meminta pada Bu Surti agar aku dijauhkan dari Cikal. Tanpa diduga, ibunya Cikal juga datang melapor ke Bu Surti untuk dipindahkan dariku. Katanya Cikal juga sering menangis di rumah gara-gara aku cubitin. Dan akhirnya Bu Surti tanpa piker panjang langsung memindahkanku jadi di samping Iman, dan Cikal entah kemana.
Kelas 2, lagi lagi aku harus berhubungan dengan Cikal. Kami dijadikan satu bangku lagi, tapi saat itu ditambah Arif Aulia Rahman, panggil aja Arif A [soalnya ada Arif Darmawan, jadi dia dipanggil Arif D] Kali ini kami sudah semakin dewasa, tidak ada lagi perkelahian, apalagi ada Arif A diantara kami. Tapi, hal yang paling lucu pada saat itu yaitu pada saat pelajaran Bahasa Indonesia. Aku ditunjuk untuk membacakan cerita. Berhubung saat itu aku masih tahap awal membaca, jadi aku belum bisa membedakan nya dan ya. Semua yang bertulisan nya kubaca ya, dan sebaliknya. Akhirnya Arif A dan Cikal meledekQ ,”Masak kayak gitu aja nggak tahu, payah.” Aku langsung naik darah. Malamnya kutulis dua buah surat, isinya aku sebel sama mereka. Emang salah ya kalo nggak bisa bedain nya dan ya. [benar” memalukan]. Akhirnya kedua surat itu aku lipat dan paginya aku masukkan ke kedua tas mereka. Hari berikutnya aku mulai deg deg-an, melihat reaksi mereka. Dan ternyata benar, Cikal menemukan suratku. Dia tanya ,”Kamu nulis surat ini ya?” ya dengan polos aja aku jawab ,”Iya.” Dan aku lupa ekspresiku berikutnya, hahahaha. Untung aja Arif A nggak tanya hal yang sama. Mau jawab apa aku?
Kelas tiga sepertinya nggak ada apa-apa antara aku dan Cikal. Tapi kelas 4, kami mulai beraksi. Saat itu kelasku terbelah menjadi dua. Kubu cowok dan kubu cewek. Sampai-sampai kalo cowok ketemu cewek, mereka bakal ledek-ledekan. Yang paling aku ingat, saat itu istirahat pertama [ato kedua? Aku lupa], aku ketemu sama cikal. Aksi ledek ledekan itu memanas, dan pada akhirnya aku dan Cikal adu otot, aku lupa gimana ceritanya, pokoknya tiba-tiba Cikal ngludahin aku [hueeek, jijik]. Dengan sigap aku langsung ke kamar mandi dan basuh muka. Batinku waktu itu, aku sebel banget sama dia.
Kelas lima, tidak ada lagi pertengkaran. Soalnya Cikal naksir sahabatku, Lu’lu’ [anak muda masa itu gaol banget ya..]. saat itu lagi marak-maraknya film Meteor Garden, dan aku sama Lu’lu’ tergila-gila sama Jerry Yan, Vic Zou, dan Kenzu [entah bener apa nggak ni nulisnya]. Otomates, berhubung aku dianggep anak yang deket sama lu’lu’, cikal sering konsultasi sama aku. Gimana caranya biar lu’lu’ bisa milih dia, soalnya waktu itu lu’lu’ lebih milih Iman. Aku jawab aja dengan PDnya, “kamu harus jalan kayak Vic Zou, lu’lu’ naksir banget sama dia.” Walhasil, jalannya Cikal langsung berubah. Dia jalan kayak Vic Zou beneran!! Tapi kayaknya usaha itu nggak berhasil. Hahaahah..
Kelas lima juga, kami berdua sama-sama ikut les music. Aku dan Cikal pegang recorder. Dia pinter banget main recorder. Tapi dia jarang berangkat, ku kira waktu itu dia lagi les sepak bola. Kepandaian Cikal ini, bukan Cuma aku yang ngakuin, bahkan guru les musikku juga mengakuinya. Waktu Cikal datang dan saat itu kita mau pentas, dia Cuma diliatin partiturnya langsung bisa main. Emang si, nggak sebagus aku [gaya..] tapi dia bisa, Cuma not not tertentu aja dia bingung trus tanya aku. Ada lagi hal lucu yang aku ingat dari Cikal. Waktu itu, aku duduk di depannya. Dia duduk di sebelah Seto. Kayaknya pas itu lagi pelajaran Bahasa Inggris, trus kita dikasih tugas. Lagi asik-asik ngerjain tugas, aku ditanyain sama Seto,”kamu lagi ngapain Za?”. Langsung aja aku jawab ,”Lagi pup.” Aku kaget juga kok bisa jawab kayak gitu. Akhirnya kami bertiga ketawa bareng. Saat itu entah mengapa, meski sebenarnya nggak lucu-lucu banget, tapi sangat membekas di hati. O iya, masih kelas lima juga, dulu aku sempet ketemu cikal, ibunya dan adeknya di warung deket sekolah. Biasa lah, kalo cewek sama cowok ketemuan pasti jaim-jaiman, gayanya najis kalo kesenggol. Nah, waktu itu ibunya cikal lihat, trus bilang ,”Lha kok dari dulu sampe sekarang masih musuhan aja.” Aku sama cikal langsung Cuma senyam senyum sendiri, heehehehehe. Tapi ada yang ganjil sama Cikal, akhir-akhir kelas 5, dia jarang berangkat. Katanya dia sakit, sampai-sampai waktu UAS dia nggak berangkat. Katanya dia sakit tipes atau apa gitu.
Kelas 6, lagi lagi aku harus duduk sama Cikal. Bingung juga, ada apa dengan guru-guru ini, bukannya masih ada cowok laen yang cocok buat jadi sampingku?? Hihiii. Nggak si, sebenarnya, berhubung waktu itu aku jadi ketua kelas, makanya aku disuruh duduk samping Cikal, berhubung Cikal masih sakit. Yang aku ingat, dia itu pintar banget. Meski hampir 2 bulan dia nggak masuk sekolah, tapi saat ditanya jumlah pulau di Indonesia dia bisa menjawab sekitar 17.000. aku benar-benar kagum padanya. Sekarang aku jadi lebih ingat jumlah pulau di Indonesia.
Tapi kelas 6 aku nggak setiap hari duduk samping cikal, cos diubah-ubah duduknya. Kadang dia samping Fatma, kadang sama aku. Aku juga sama Bagus, dan sama dia. Beberapa minggu setelah awal masuk sekolah, Cikal sering nggak berangkat. Katanya penyakitnya semakin parah. Lalu saat aku sampe rumah, aku cerita sama ibuku, e malah ibuku bilang biar aku bacain yaasin buat dia. Gila aja, dia kan belom meninggal, pikirku waktu itu. Aku mau bilangin usul ini sama Lu’lu’ juga nggak enak, takutnya aku dikira doain dia meninggal. Tapi waktu itu kata ibuku itu doa biar dia dikasih jalan yang terbaik. Aku yang tau seperti itu jadi nggak pernah nyia-nyiain waktuku bersamanya. Aku lebih sering memilih nggak istirahat keluar, tapi duduk di kelas. Pura-puranya aku belajar. Kadang kalau aku tau Cikal keluar buat main sama anak lain, baru aku mau keluar kelas. Sampai akhirnya Cikal nggak berangkat selama seminggu. Kata Pak Pur, wali kelasku sakitnya sudah mulai parah. Akhirnya aku dan teman-teman berinisiatif buat jenguk dia. Langsung satu kelas waktu itu naek angkot ke rumahnya. Kulihat dia semakin kurus dan pucat. Tapi dia sempat senyum sama teman-teman. Meski senyum itu bukan buat aku, tapi aku sudah seneng banget. Hari berikutnya dia sudah mulai masuk sekolah. Pak Pur pun ikut senang. Kata-kata Pak Pur yang selalu kuingat adalah ,”Fauzia, kamu kan sampingnya Cikal. Kalau dia ada apa-apa kamu lapor ya!”.
Begitulah, yang terakhir ku ingat saat pelajaran kerajinan tangan. Cikal nggak bisa masukin benang ke jarumnya. Akhirnya kubantu dia. Waktu tangan kami bersentuhan, kurasakan tangannya hangat banget. Nggak wajar gitu intinya. Akhirnya Cikal jarang sekali berangkat sekolah. Paling 2 minggu sekali. Lalu aku, Fatma, Devin, dan Pahang berinisiatif untuk menjenguknya lagi. Kami berempat saat itu masuk ke kamarnya. Kulihat sudah ada 3 infus kosong di sana. Cikal terlihat lemas, tapi tetap saga tersenyum. Tapi semua itu dikacaukan sama Devin, aku lupa dia bilang apa, sampai-sampai neneknya cikal agak marah. Langsung aja, kami pulang, hihihi.
Seminggu kemudian, tepatnya 17 Oktober 2003, jam 5 pagi, aku dapet SMS dari lu’lu’ katanya Cikal meninggal. Aku yang nggak percaya langsung bilang ke ibuku. Lalu ibuku bilang supaya aku mandi trus berangkat sekolah. Kan nanti di sekolah bisa tahu sendiri gimana kabar sebenarnya. Di kamar mandi aku Cuma ngebayangin, gimana mungkin temen yang selama ini selalu menghantui hidupku itu meninggal. Hanya itu yang ada di benakku. Akhirnya aku sengaja pakai kucir putih, ceritanya buat ikut bela sungkawa gitu, hehehehe. Sampe sekolah aku bilang sama anak-anak, anak-anak juga nggak percaya. Tapi waktu Seto datang trus bilang itu beneran, baru anak-anak mau percaya. Pagi itu ada senam kesehatan jasmani di sekolah. Habis senam, diumumin kalo Cikal meninggal. Rencana anak kelas 6 dan 5 ikut melayat, soalnya adiknya Cikal juga di kelas 5. Masuk kelas, saat itu aku jatahnya duduk sama Bagus. Bagus langsung nangis di tempat duduk. Yah gimana lagi, Bagus termasuk teman dekatnya, lagian nomor urutnya berurutan. Waktu itu aku Cuma bisa bilang sama bagus, mungkin ini jalan terbaik buat Cikal. Kasihan juga kalo dia harus sekolah padahal sakit.
Akhirnya kami jalan kaki ke rumah cikal. Sampe sana, anak-anak dipersilahkan lihat jasadnya Cikal. Aku agak lupa kayak apa bentuknya, Cuma yang aku tau aku lihat wajahnya putih pucat. Dan yang aku inget wajahnya beda banget. Nggak kayak cikal yang aku kenal. Anak-anak nangis semua, aku bingung mau nangis gimana. Rasanya pengen banget nangis, tapi tetep aja nggak bisa. Abis lihat jasadnya Cikal kami langsung pulang, kami nggak diperbolehin ikut ke makam, takutnya bikin rebut. Yang ikut waktu itu Cuma Seto, soalnya dia sama ibunya.
Sabtu, 18 Oktober 2003. Aku jatah duduk bareng Cikal. Tapi sejak saat itu aku biasain diri buat duduk sendiri, kan biasanya juga sendiri, cikal nggak berangkat. Tapi entah mengapa, pas pelajaran PPKn, ada tugas kelompok, yaitu sama teman sebangku. Langsung waktu itu otakku nge-blank. Nggak tau gara-gara apa, tapi pas aku ditunjuk maju, berhubung belum ngerjain apa-apa, aku malah nangis di depan kelas. Dikirain aku mikirin cikal, padahal nggak juga. Cuma bingung aja kenapa aku malah nge-blank. Habis itu Pak Sidiq, guruku saat itu dan sekaligus kepala sekolah, nyuruh aku dan anak-anak lain buat doain Cikal. Sampe rumah aku malah terkapar. Kata ibuku, aku langsung panas tinggi. Kalo yang aku inget Cuma tidur biasa, tapi kata ibuku aku bangun-bangun malah nanyain Cikal [parah banget aku]. Langsung ibuku nyuruh aku doain dia, biar nggak kebayang baying terus. Dan seminggu kemudian, aku dan teman-teman sekelas ziarah ke makamnya Cikal. Yang aku inget sesampainya di makam, Devin [temenku] bilang ,”Udah kan zia, nggak usah nangis lagi.” Wah aku jadi malu sendiri.
Coba aja Cikal belum meninggal, pasti sekarang punya cewek banyak, kan dia ganteng banget. Sekarang juga pasti sudah kuliah di universitas bagus. Atau bahkan bisa aja dia udah jadi pemain sepak bola handal. Pokoknya mungkin aja dia bakal sukses kalo masih hidup. Tapi realitanya kan dia udah meninggal, jadi semoga aja dia diberi jalan yang baek di akhirat sana.
Dari pengalamanku itulah aku bisa memetik hikmah kalo usia orang nggak pasti. Nggak semua orang meninggal setelah tua. Dan satu lagi yang penting, buatlah saat-saat bersama teman ataupun keluargamu itu menjadi saat-saat yang indah, karena mungkin saga itu saat terakhir kita ketemu dia. Aku nggak pengen ngulangin kesalahanku musuhan sama temenku sendiri dan akhirnya aku sendiri yang sakit gara-gara ditinggal sama temenku buat selama-lamanya.